Pengertian
Hukum Perikatan
Hukum perikatan yang dalam bahasa belanda dikenal
dengan sebutan verbintenis ternyata memiliki arti yang lebih luas
daripada perjanjian. Hal ini disebabkan karena hukum perikatan juga mengatur
suatu hubungan hukum yang tidak bersumber dari suatu persetujuan atau
perjanjian. Hukum perikatan yang demikian timbul dari adanya perbuatan
melanggar hukum “onrechtmatigedaad” dan perkataan yang timbul dari pengurusan
kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan “zaakwaarneming”.
Meskipun telah disebutkan bahwa pengaturan
mengenai hukum perikatan diatur dalam Buku III BW, namun pengertian
mengenai hukum perikatan itu sendiri tidak diurai dalam Buku Ketiga BW atau
yang lebih dikenal dengan sebutan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata). Untuk itu, mari kita lihat beberapa pengertian yang diberikan oleh
para ahli terkait dengan pengertian hukum perikatan sebagai berikut:
Hukum perikatan menurut Pitlo adalah
“suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan
antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu memiliki hak
(kreditur) dan pihak yang lain memiliki kewajiban (debitur) atas suatu
prestasi”.
Hukum perikatan menurut Hofmann adalah
“suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas
subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang
daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu
terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Sementara pengertian hukum perikatan yang umum digunakan
dalam ilmu hukum adalah:
“suatu hubungan hukum mengenai kekayaan harta
benda antara dua orang yang memberi hak kepada pihak yang satu untuk menuntut
sesuatu barang dari pihak yang lainnya sedangkan pihak yang lainnya diwajibkan
untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pihak yang berhak menuntut adalah pihak yang
berpihutang (kreditur) sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan
pihak berhutang (debitur) sementara barang atau sesuatu yang dapat dituntut
disebut dengan prestasi”.
Dasar Hukum
Perikatan
Dalam pembahasan mengenai dasar hukum ini
berkenaan dengan ketentuan pasal 1233 BW, saya akan memberikan paparan yang
menurut pandangan saya penting dalam suatu perikatan, yaitu dasar hukum tentang
syarat – syarat sahnya suatu perikatan.
Dasar hukum yang menjadi acuan syarat – syarat
sahnya suatu perikatan adalah pasal1320 BW, yaitu sebagai berikut :
-sepakat
-cakap
-suatu hal tertentu
-sebab yang diperbolehkan
Azas-azas
dalam Hukum Perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku
III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas
konsensualisme.
· Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan
berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa
segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang
membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
· Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya
bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak
mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan
demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Wanprestasi
dan akibat-akibatnya
wanprestasi adalah tidak memenuhi kewajiban yang
telah ditetapkan dalam perikatan yang timbul karena perjanjian.
Sedangkan Perbuatan melawan hukum dalam konteks
ini dapat dikatakan bahwa gugatan dikarenakan melanggar perikatan yang lahir
dari UU.
Dari pengertian di atas antara wanprestasi dan
perbuatan melawan hukum, maka dapat ditemukan suatu batasan di antara keduanya
yaitu sebagai berikut :
-Dikatakan merupakan wanprestasi, apabila salah
satu pihak melanggar ketentuan yang telah diperjanjikan dalam perikatan
tersebut.
Contohnya : debitur tidak melakukan pembayaran
hutang kepada kreditur
-Dikatakan merupakan perbuatan melawan hukum
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, yaitu gugatan yang dapat dilakukan
dikarenakan melanggar perikatan yang lahir karena UU. Dalam hal ini contoh
sederhananya adalah sebagai berikut : “ seorang pemilik kambing dapat digugat
dikarenakan kambing yang dimilikinya lepas dan merusak rumah seseorang /
tetangganya.”
Oleh karena itu, dengan memperhatikan contoh di
atas, dapat dipahami bahwa tidak harus ada perjanjian, melainkan suatu
perikatan dapat timbul karena Perbuatan Melanggar Hukum (sehingga UU
menyaratkan adanya perikatan)
Hapusnya
perikatan
Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi
kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara
penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :
-Pembayaran merupakan setiap pemenuhan
perjanjian secara sukarela
-Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan
penyimpanan atau penitipan
- Pembaharuan utang
-Perjumpaan utang atau kompensasi
- Percampuran utang
-Pembebasan utang
- Musnahnya barang yang terutang
- Batal/pembatalan
-Berlakunya suatu syarat batal
-Lewat waktu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar